Kisah remaja

Gone - Prety Goodbye

Aku mulai merasakannya

Juni, 2012

Awan putih yang tertiup serasa seperti kapas yang tak pernah terurai oleh waktu. Seperti sebuah permen gulali yang terasa manis dan dingin. Tak seiring dengan laju angin yang membuat rambutku teruarai kesana kemari. Tak juga seperti sinar matahari yang terus terusan menyengat kulitku dan membuat tenggorokanku kering. Aku tak mengerti, atau bahkan aku tak tau apa yang sebenarnya kupikirkan sekarang. Sesuatu terjadi padaku, sesuatu yang tak pernah ada dalam hidupku. Sesuatu yang tak pernah kurasakan selama ini.

Sesuatu yang selalu membuat dadaku terasa sesak. Disini, benar benar terasa. Setiap aku mengingatnya, dadaku ini selalu merasa sesak. Aku tak mengerti, ini tak pernah ada dalam teori teori yang selama ini ku pelajari. Ini tak ada dalam anatomi manusia yang selalu kupelajari disekolah. Apalagi ini tak dirumuskan dalam fisika. Apakah aku harus mengerti semua ini, ataukah aku hanya perlu percaya dengan keanehan ini?

Aku berusaha memejamkan mataku di jalan yang ramai ini. Tidak, ini tidak boleh menggangguku. Aku tak akan pernah terganggu dengan ini. Aku harus menganggapnya tak ada. Menganggap hal aneh ini tak pernah terjadi. Tapi bagaimana caranya. Ayolah, pikirkan. Kau tau bahwa kau selalu bisa menyelesaikan semuanya dengan baik tanpa kesalahan sedikitpun. Kau selalu bisa menghilangkan kesalahan. Ayo Jireyn, kau bisa. Aku yakin kau bisa. Jireyn, kau adalah anak cerdas. Tak ada yang tak bisa kau pecahkan.

“Nona, sudah sampai. Anda bisa turun sekarang!” Kata pak Jaya dengan sopan.

“Terimakasih!” Timpalku. Setidaknya aku sudah mengucapkan kata terima kasih. Tak ada lagi yang perlu ku khawatirkan, Atau merasa tak sopan dengan pria tua itu.

Aku berjalan menuju rumahku yang sepi ini. Besar, indah dan mewah semua orang memberi kesan seperti itu pada rumahku. Dan aku selalu menambahkan satu lagi kesan pada rumahku ini. Sepi. Aku tak pernah bercengkerama dengan keluarga penghuni rumah ini. Atau lebih tepatnya keluargaku. Akan ku perkenalkan. Ayahku adalah seorang pengusaha yang sibuk keluar masuk negara katulistiwa ini. Namanya Kentaro, tapi tak ada yang berani memanggilnya dengan nama itu kecuali keluarganya. Orang orang sering memanggilnya Kaname. 

Padahal, Kaname adalah nama belakangku. Sementara Ibuku adalah seorang disainer yang telah mendunia. Namanya Seo Ji Myun. Dia adalah orang kelahiran Korea. Sekarang karyanya memang masih meluncur didunia. Tapi jiwanya telah terbang ke tempat yang lebih indah. Atau bisa dibilang surga. Dia telah meninggal saat aku berumur empat tahun. Aku memaksakan diriku untuk melupakannya. Tapi tak bisa. Kebaikannya sudah terlanjur menancap dalam di hati ini. Aku juga punya seorang kakak laki laki. Dia adalah pewaris sah perusahaan ayah. Tentu saja, diakan laki laki. Sementara aku adalah perempuan dingin yang terkadang tak punya tujuan hidup. Nama kakakku adalah Jishen. Lengkaplah, Jireyn, Jishen, Ji Myun, dan Kentaro.

Kakakku akan pulang empat bulan lagi. Dia sekolah diluar negeri. Dan aku sekolah di dalam negeri. Em.., aku lupa menceritakan diriku sendiri. Aku sekolah di SMA Pelita Bangsa. SMA yang 5% muridnya adalah anak cerdas yang mendapat beasiswa. Tapi tak termasuk aku.

Aku tau aku cerdas, dan aku mengakuinya. Tapi aku tak mendapat beasiswa. Bagaimana mungkin seorang Kaname mendapat beasiswa. Walaupun begitu, aku bukanlah anak yang terkenal disekolah ini. Aku bukan anak populer. Kutegaskan lagi, AKU BUKAN ANAK POPULER.

Aku kembali pada kamarku yang nyaman ini. Nyaman dan sepi. Itulah kesannya. Ah, aku bosan membuka buku buku tebal itu. Aku jadi ingat awal mula perasaan aneh ini muncul.

FLASH BACK

Juli 2011

Pagi yang begitu dingin, berkabut, dan sepi. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.15. Tapi lalu lalang belum begitu ramai. Mungkin karena kabut ini. Karena sedari tadi, akupun belum mendengar kicauan burung dan kokokan ayam. Mungkin mereka kesal, karena matahari tak bersemangat hari ini. Tak seperti kemarin yang begitu bersemangat dan menyegat.

Tapi kurasa, keadaan di sekolah tak ada bedanya. Sepi. Padahal, ini adalah hari pertama di tahun ajaran baru. Aku sekarang telah menjadi anak kelas 11. Dan aku berhasil masuk dikelas 11-A-1. Kelas terfavorit. Tentu saja, dengan peringkat satu. Aku tau aku egois karena aku tak pernah mengalah dan selalu menduduki peringkat ini. Walaupun begitu, tak banyak yang mengenalku. Karena kepribadianku yang tak mudah akrab dengan orang lain, dan... kata sahabatku aku terlalu jual mahal.

Kaki mungilku ini melenggang menuju sebuah kelas. Kelas megah yang berada di Gedung 3. Hebat, yang kutau, kelas ini adalah kelas yang dihuni oleh para pencetak juara dulu. Mungkin pada tahun ini, aku adalah penerusnya. He he he... terkadang aku memang suka menyombongkan diri, tapi aku hanya suka menyombongkan diri pada diriku sendiri. Hanya untuk sekedar menghibur diri saja.

Aku sedikit kaget. Ternyata aku bukanlah yang pertama hadir hari ini. Sudah ada seorang cowok yang sedang duduk sambil bermain sebuah i-pad ditangannya. Aku mencoba tak memperhatikan anak itu. Kurasa dia juga tak menyadari keberadaanku yang sudah sampai di tempat yang kupilih ini. Aku mengeluarkan buku baru yang ku beli kemarin.
Sebuah buku Fisika kukeluarkan. Aku sudah belajar bab pertama dan kedua kemarin. Salah, setidaknya aku hanya membaca. Tapi materinya benar benar sudah kupahami di otakku. Sekarang aku harus belajar bab ketiga.

Kurasa aku terlalu keasyikan membaca, sampai sampai aku tak sadar kalau sebagian bangku telah terisi. Dan sahabatku muncul dari balik pintu. Awalnya dia terkejut. Entah kenapa dia terkejut. Apa karena melihatku?, ah ayolah bahkan kami sudah menjadi teman sekelas sejak lima tahun. Aku melihatnya menghampiriku dan duduk di sebelahku.

“Lama tak bertemu!” Sapaku padanya. Tepatnya Nikta. Dia adalah salah satu anak beasiswa disini, dia tinggal di panti. Panti yang dikelola keluarga kami. Tapi dia tak tau kalau aku adalah salah satu anggota keluarga pengelola panti yang ditempatinya itu.

“Hah,... hari hariku dipanti benar benar melelahkan. Kau tau?” Kata Nikta mulai mengeluh padaku. Aku tau kehidupannya. Dia selalu tersiksa dipanti. Terutama karena anak ibu panti yang selalu menyuruhnya kerja ini dan kerja itu. Aku ingin membantunya. Tapi aku tak mau masuk dan terjun lebih dalam ke urusan keluarga Kaname. 
Biarlah kakakku saja yang mengurusinya.

“Sabarlah..., tak akan selamanya nasibmu seperti itu!” Kataku mencoba memberikan semangat.

“Eh, kau tau, aku benar benar terkejut. Ternyata kita sekelas dengan Nico!” Kata Nikta mengalihkan keluhannya.

“Nico?” Aku memang selalu mendengar nama itu dari para gadis di sekolah ini. Tapi jujur, aku belum pernah melihat anak itu. Mereka bilang, Nico adalah anak yang tampan, keren dan pintar. Tapi sejak dulu aku tak tertarik dengannya.

“Apa kau tak tau?” Tanya Nikta terheran heran.

“Tidak!” Jawabku singkat. Ayolah, untuk apa aku tau, apakah itu penting untukku?

“Cobalah untuk tau hal lain selain dirimu!” Kata Nikta menasehatiku. Aku tak butuh tau hal lain, karena aku tak punya urusan dengan itu.

“Jangan menasehatiku...” Kataku. Aku merasa yang kulakukan selama ini benar.

“He....h” Nikta mendengus kesal. “Lihat anak laki laki yang duduk di sana itu!” Kata Nikta sambil mengacungi seorang cowok yang tengah sibuk dengan i-padnya. Jadi... itu Nico, bukankah dia anak yang pertama kali datang tadi. Aku tak tau, apa aku beruntung bisa bertemu dengan bintang sekolah itu?, ataukah aku tak beruntung karena aku tak tau kalau dia adalah bintang sekolah saat aku bertemu dengannya tadi.

“Jadi dia ya?” Tanyaku. Memang, aku sedikit tak menyangka. Dia terlihat biasa, tapi dipikir pikir berapa saja prestasi yang ia raih. Banyak, bahkan sangat banyak. Tapi kalau dipikir pikir lagi, sebenarnya banyak juga anak yang punya segudang bakat seperti dia, hanya saja anak itu tak terlalu menunjukkan bakatnya.

“Ya, kau harus mencoba mengenali orang lain mulai sekarang!” Kata Nikta kembali menasehatiku. Ya, memang benar, selama ini aku terlalu tak peduli dengan orang lain yang tak ada urusan denganku.

“Sudahlah, kurasa itu tak penting!” Aku tak mau membahasnya.
Hari pertama memang sedikit tak menyenangkan, setiap awal pelajaran pasti diisi dengan perkenalan. Menyebalkan, aku tak suka. Benar benar tak suka. Sudahlah, nanti juga kami saling kenal dengan sendirinya.

Dari tadi aku hanya membuka lembar demi lembar buku buku yang kubawa. Aku tak peduli dengan penjelasan Guru yang benar benar sudah kumengerti. Bahkan tanpa dijelaskanpun aku sudah mengerti. Aku bosan, ngantuk dan lapar. Sudah jam sebelas, seharusnya sekarang istirahat. Aku tak mau lebih lama duduk disini.

“Kriiii.........ngngngng!!!!!!!!!” Bel berbunyi dengan kerasnya. Energiku muncul lagi.

“Kita kekantin, aku lapar!” Pintaku pada Nikta dengan datar. Dia hanya menurutinya, karena dia juga merasa lapar.

“Kulihat, dari tadi kau sama sekali tak memperhatikan!” Kata Nikta sambil terus berjalan disampingku.

“Ya, aku sudah bisa. Jadi aku tak mendengarkan!” Balasku.

“Aku penasaran, sudah mencapai berapa IQ mu sekarang?” Tanya Nikta sedikit mengejek.

“Ayolah, kau pikir aku secerdas apa?” Tanyaku pada Nikta.

“...” Nikta hanya tertawa. Dia tau aku sering berkata seperti itu. Munafik, padahal aku saja sering menyombongkan diri tentang kecerdasanku ini. Ya, tapi aku sering merendahkan diri didepan orang lain.

Saat aku tengah sibuk berbincang bincang denngan Nikta, Tiba tiba ada sesuatu yang menabrakku dari belakang. Aku tak tau, tubuhku tak bisa menyeimbangkan diri. Aku terjatuh, dan rokku kotor. Itu yang kupikirkan. Aku melihat orang yang menabrakku tadi dengan datar. Nico, apakah dia seceroboh itu?. Apa dia tidak punya mata? Lihat apa yang dia lakukan.

“Ma, maaf!” Katanya gugup, itu benar benar memalukan. Kegugupannya itu benar benar membuat karismanya hilang.

“...” Aku kembali berdiri dengan dibantu Nikta. Lalu menatapnya dingin. “Seharusnya kau lebih berhati hati!, kau membuat rokku kotor!” Kataku datar lalu pergi meninggalkan Nico yang masih terduduk.

Nikta mengikutiku, dia tak menyangka aku akan berkata seperti itu. Mungkin dia berpikir, apa tadi yang dia lakukan. Nico sudah minta maaf, kenapa dia malah menatapnya dengan dingin?

“Reyn, kau jangan bersikap seperti itu, ramahlah sedikit!” Kata Nikta menasehatiku. Aku tak mau mendengarnya. Kenapa aku harus bersikap ramah dengan anak yang bernama Nico itu. Lagi pula dia menabrakku tadi. Seharusnya aku marah. Beruntung tadi aku tak mengeluarkan emosiku.

“Jangan pikirkan itu lagi, lebih baik kita makan!” Kataku sambil mendengus. 



Huuu, maaf kalau banyak typo yaa... maklum buatnya pas jama" SMP langsung copas aja di blog. Ceritanya masih gaje, tahu apa sih anak SMP sama kehidupan SMA hehehee

Tinggalkan jejak ya teman... 
Biar makin semangat OK :)


You can also search by : Cerita Remaja | Cerita Romantis | Cerpen Remaja | Cerpen Romantis | Fiksi Remaja 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia Modern di Era Digital dengan Penerapan Teknologi Berbasis Internet

Music Organizer & Auction Machine