Terik yang Harus Ku Gapai
Namaku adalah neritha. Putri kerajaan Laut, salah satu dari
empat kerajaan besar didunia. Keempat kerajaan itu adalah kerajaan Matahari,
Laut, Angin, dan Hujan. Dari keempat negara itu, negara yang paling adikuasa
adalah kerajaan Matahari.
Aku adalah orang yang dikenal anggun, cerdas, dan bijaksana.
Aku tak pernah bermaksud membuat image itu. Aku bersikap seperti itu pada orang
yang aku sukai saja. Aku bisa saja bersikap cuek dan tidak peduli pada orang
yang kuanggap tidak pantas dan tidak kusukai. Karena itulah diriku. Aku
menyukai rakyat Kerajaan Laut yang tidak bermasalah. Karna itu, aku adalah tipe
penghukum yang kejam. Tapi, aku juga bisa memaafkan dengan mudah saat aku
melihat ketulusan. Jadi, tak ada kebenaran yang tak kulihat.
Ayahu masih hidup dan ibuku meninggal saat melahirkanku. Aku
punya seorang kakak laki laki yang kelak akan menjadi penerus tahta dikerajaan
ini. Dan aku, aku hanya ingin menjadi aktivis sosial dikerajaan ini. Aku ingin
menjadi menteri kehidupan sosial.
Aku tidak pernah berharap menjadi ratu dan sebagainya. Aku
hanya ingin menjadi diriku entah dimana aku hidup.
Tapi semua itu seolah berubah saat aku mendengar kabar bahwa
aku akan dijodohkan dengan raja kerajaan Matahari yang terkenal akan strategi
perangnya dan kemampuannya memimpin. Kerajaan itu menjadi kerajaan tak
terkalahkan dan menguasai pusat ekonomi. Bahkan tiga negara lainnya tak bisa
memutus tindakan untuk memblokade kerajaan itu.
Hanya dalam waktu tiga tahun, kerajaan matahari meluas mengambil aliih kerajaan kerajaan kecil dan menyisakan empat kerajaan besar dan beberapa negara kecil yang berada dibawah lindungan tiga negara besar lainnya.Aku bisa membayangkan dia adalah seorang tua yang tak peduli soal wanita. Hingga diumurnya yang sudah terlanjur tua, dia baru memikirkan untuk punya keturunan ynag bisa mewarisi kerajaaannya.Hariku mulai berubah dihari itu.
Hanya dalam waktu tiga tahun, kerajaan matahari meluas mengambil aliih kerajaan kerajaan kecil dan menyisakan empat kerajaan besar dan beberapa negara kecil yang berada dibawah lindungan tiga negara besar lainnya.Aku bisa membayangkan dia adalah seorang tua yang tak peduli soal wanita. Hingga diumurnya yang sudah terlanjur tua, dia baru memikirkan untuk punya keturunan ynag bisa mewarisi kerajaaannya.Hariku mulai berubah dihari itu.
“Apa? Dijodohkan?” Tanyaku kesal. “kenapa? Apa ayahanda
tidak bisa menolaknya?” Tanyaku tak terima.
“Maafkan aku Neritha, dia memaksa kedua negara untuk memberikan
negara kecil yang berada dibawahnya. Tapi, dia memintamu dari negara kita!”
Kata sang raja laut.
“Apa? Untuk apa?” Tanyaku lagi.
“Aku tidak tahu. Tolonglah Neritha, aku jamin kau akan
mendapatkan hidup yang terjamin disana. Demi ribuan rakyat Ritha!” Kata
ayahanda memelas. Terkadang aku kasihan melihatnya yang harus menjalankan tugasnya
dengan tubuh yang rapuh dan mudah lelah itu. Kalau dia bisa memberi kepercayaan
padaku dan kakakku untuk memerintah, sedikit saja. Aku jamin negara ini akan
jauh lebih maju dan bisa menandingi negara matahari sekalipun. Tapi aku selalu
tahu apa yang ayah pikirkan. Dia tidak ingin rakyatnya menderita karenanya.
Karena itu, dia sealu memilih untuk berdamai.
“Tapi aku....” gumamku. Aku tak setuju itu jelas, tapi
penolakan itu akan mengancam nyawa orang orang. Sebenarnya, untuk apa aku
peduli karena toh aku juga tak mengenal mereka. Aku hanya tak mau merasa
tertindas karena sesuatu milikku harus diambil paksa dariku. Wilayah negaraku.
“Baiklah!” Akhirnya aku mengatakan kalimat itu dan
memutuskan menikah dengan raja tua yang brewokan dan jelek. Impianku, aku hanya
ingin menikah dengan pejabat kerajaan atau pejabat prajurit. Bukan seorang raja
dari kerajaan yang sangat besar dan tua.
“Terimakasih Ritha, dan maafkan ayah!” Gumam ayahanda. Aku
tak membalasnya dan segera berbalik pergi dari hadapannya. Sudah diputuskan,
satu minggu lagi aku akan berangkat dan aku hanya akan dikawal sampai
perbatasan pelabuhan. Selanjutnya, aku akan menjadi milik mereka kecuali
kakakku berhasil mengalahkan raja yang beringas itu.
1 minggu kemudian...
“Neritha?! Kau baik baik saja?” Tanya kakakku yang terlihat
begitu mencemasknku. “Kakak pasti akan kesana. Lihat perubahan yang akan kakak
bawa nanti!” Bisik kakakku.
Benar, aku dan dia memang telah merencanakan perubahan. Kami telah memutuskan untuk menjadi legenda bersama. Walaupun aku adalah seorang perempuan yang dianggap sebelah mata dan biasanya hanya diperjual belikan dengan kedok pernikahan aku tidak akan tinggal diam. Aku juga bisa mengurus sebuah negara dan aku juga bisa mengendalikan peperangan. Aku mampu, karena selama ini aku telah bekerja dibalik layar. Aku selalu memberikan perintah kepada menteri pertahanan untuk penyelesaian perang. Aku bisa.
Benar, aku dan dia memang telah merencanakan perubahan. Kami telah memutuskan untuk menjadi legenda bersama. Walaupun aku adalah seorang perempuan yang dianggap sebelah mata dan biasanya hanya diperjual belikan dengan kedok pernikahan aku tidak akan tinggal diam. Aku juga bisa mengurus sebuah negara dan aku juga bisa mengendalikan peperangan. Aku mampu, karena selama ini aku telah bekerja dibalik layar. Aku selalu memberikan perintah kepada menteri pertahanan untuk penyelesaian perang. Aku bisa.
“Aku akan menunggunya. Jemput aku!” Gumamku lirih agar ayah
handa tak mendengar. Strategi perang ku selalu mementingkan jumlah korban. Aku
selalu mengambil strategi untuk meminimalisir kemantian prajurit. Tapi entah
dengan kakak, aku tidk tshu dengan cara apa dia akan berperang.
Suasana menjadi haru biru saat mereka melepasku. Apa peduli
mereka? Aku yakin mereka bisa merasa lega karena mereka tak perlu berkorban.
Aku sudah menjadi gantinya, dan rugi apa mereka kehilangan diriku?
Aku mengarungi laut selama tiga hari hingga akhirnya aku
sampai di negara Matahari. Benar saja, tak ada satupun dari prajurit di kapalku
yang turun. Disana, aku sudah disambut pasukan lain dengan persenjataan
lengkap.
Aku turun dari kapal dengan langkah anggun dan angkuh. Saat
sampai dibawah, aku menengok kekapal sejenak. Aku bisa melihat Yudith, pelayan
wanita yang paling dekat denganku sedang menahan tangis. Aku tersenyum untuk
beberapa saat, kemudian aku memalingkan pandanganku dan bisa kudengar kapten
kapal meneriakkan aba aba untuk mengalihkan haluan kapal.
Akhirnya, aku menjadi satu satunya orang asing didaratan
ini. Kemudian, kulihat beberapa pelayan wanita menghampiriku.
“Nona, silahkan ikuti kami. Anda bisa meletakkan barang
bawaan anda. Biarkan pengawal yang membawanya!” Kata seorang pelayan yang
sepertinya merupakan pelayan wanita tertinggi.
“Baiklah!” Gumamku sambil melirik kesamping.
Akhirnya aku berjalan mengikuti para pelayan wanita itu. Aku
memasuki kereta kuda yang sepertinya disediakan untukku. Kemudian, kereta itu
berhenti di sebuah hotel kerajaan. Bukan di istana. Aku bisa mengerti, hari
sudah malam dan tak mungkin bagi mereka melakukan perjalanan ke pusat kota dari
pesisir.
“Nona, kau bisa istirahat dikmar anda, silahkan!” Kata
pelayan wanita yang tadi. Aku hanya mengikutinya dan memasuki sebuah kamar yang
lumayan besar.
“Anda bisa beristirahat!”
Aku memutuskan untuk segera mandi. Tak ada gunanya aku
merajuk dan berusaha kabur. Karena, hal yang tak kuinginkan pasti akan terjadi
juga. Karena itu, aku akan menurutinya dan besok, entahlah besok apa yang akan
aku lakukan.
***
Paginya, aku bangun terlalu pagi sepertinya. Matahari sudah
terbit tapi kulihat suasana masih sepi. Ya matahari terbit begitu awal di
negara ini. Pantas nama negara ini Matahari. Seolah matahari begitu berkuasa
disini.
Aku berjalan keluar kamar menyusuri hotel ini. Saat tiba
tiba aku melihat seorang laki laki yang terjatuh dari tangga. Kulihat dia
memakai penutup mulut, mugkin karena flu. Aku berusaha menolongnya.
“Kau tak apa?” Tanyaku. Dia hanya terdiam menatapku. Mungkin
dia masih shock. Kemudian aku membantunya berdiri.
“Kalau, tidak enak badan bukankah lebih baik kau istirahat
saja?” Tanyaku.
“...” Dia hanya mengangguk kemudian kembali berjalan. Laki
laki yang aneh kupikir. Kemudian aku kembali berjalan keluar hotel. Saat
kemudian aku menemui pelayan wanita itu lagi.
“Nona, perjalanan akan segera dilanjutkan lagi"
Komentar