Teen Fiction

Gone - Pretty Goodbye

[Part 3]





Juli 2012.
Hari pertama aku masuk kelas dua belas. Aku memutuskan untuk berangkat pagi. Pukul enam, mobilku telah melaju dari rumah. Jalanan masih sangat sepi dan lengang. Matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Tak seperti tahun lalu. Kicauan burung telah terdengar kali ini. Aku jadi teringat saat saat pertama aku mulai mengenal Nico.

Aku akan sangat bersyukur jika pagi ini aku tak bertemu dengan anak itu. Aku tau, tahun ini aku satu kelas lagi dengannya. Kemarin, aku sudah melihatnya di internet. Aku tidak tau apa yang harus kurasakan. Apakan aku harus bahagia karena aku bisa satu kelas dengan orang yang kucintai. Ataukah aku harus sedih karena perasaan ini akan selalu membayang bayangiku?. Pertanyaan yang sulit.

Sudah kuduga, mungkin aku adalah murid yang datang paling awal hari ini. Keadaan sekolah sangat sepi. Kurasa hanya bapak bapak pembuka kunci saja yang baru datang.

Jadwal hari ini adalah upacara bendera, lalu olah raga. Aku senang. Setidaknya setelah upacara bukan pelajaran Sains. Aku melangkah dengan ringan memasuki ruang kelasku yang kini berada di gedung lima, lantai dua. Aku berjalan melewati koridor yang sepi. Lalu masuk keruang kelasku yang benar benar masih kosong.

Aku memilih tempat duduk di sebelah jendela. Dari sini, aku bisa melihat pemandangan lewat jendela. Mungkin jika aku sedang bosan, aku bisa melihat kesana. Lagi pula ini dilantai dua. Pemandangannya akan semakin indah disini.

Sambil menunggu teman temanku datang, aku memilih berdiam diri melihat keluar jendela. Pemandangan taman sekolah yang indah terpampang  dari sini. Kurasa aku akan merasa betah berada dikelas ini.

Terlalu asiknya melihat keluar, aku sampai tidak menyadari bahwa sudah ada orang lain yang sampai dikelas ini. Dia juga ikut melamun sambil memperhatikanku. Dan aku tau itu. Karena aku sedang merasa diawasi sekarang. Merasa tidak enak diperhatikan, aku menengok ke arah anak itu. Nico. Sudah kuduga.

“Ada apa?” Tanyaku sedikit salah tingkah namun tetap dengan nada sedatar mungkin.

“Tidak apa apa. Pemandangannya indah!” Katanya sambil mengalihkan pandangannya.

“...” Aku tersenyum. Lalu berjalan keluar kelas dan berdiri di balkon. Apa yang dia maksud indah. Pemandangan yang mana?. Aku, atau pemandangan diluar?. Apa mungkin dari tempat duduknya itu dia bisa melihat pemandangan diluar. Agh, kenapa aku malah merasa ke GR-an gini?

“Reyn!” Sapa seseorang yang sudah sangat familiar dihidupku. Nikta.

“Hai...!” Balas sapaku sambil menghampirinya. “Kemarin kau mendapat salam dari Raka!”

“Salam, untuk apa?” Tanya Nikta tak mengerti.

“Entahlah, dia hanya bilang begitu!” Jawabku.

“Hm..., kalau begitu sampaikan salam balikku padanya!” Kata Nikta sambil berjalan kedalam.

“Oh iya, tumben kamu berangkat lebih awal?” Tanyaku. Ini baru jam 06.15, padahal biasanya dia berangkat jam setengan tujuh.

“Yah, aku bebas dari pekerjaan cuci piring hari ini.!” Kata Nikta dengan girang.

Pagi pertama ini dimulai dengan upacara bendera, lalu dilanjutkan dengan olah raga. Guru olah raga kami yang baik hati memberikan waktu bebas, jadi... hari ini kami akan bermain basket. Yah, aku tau aku tidak terlalu berbakat dibidang ini. Tapi tak apalah, lagi pula tak ada penonton yang menonton dari atas.

Skeep time, tim putri sudah bertanding, dan sekarang giliran anak anak putra. Aku dan Nikta melihat pertandingan dari pinggir lapangan. Entah kenapa aku merasa sangat senang saat Nico berhasil memasukkan bola. Bisa terbayangkan, berapa kali aku merasa senang. Soalnya... Nico selalu mencetak angka.

Pertandingan kali ini dimenangkan oleh tim nico. Tentu saja, lagi pula diakan anak pemegang kaus Emas kebanggaan sekolah. Atau bisa dibilang, anak basket terhebat di sekolah kami.

Setelah pertandingan selesai, dia dan temannya berjalan menuju kearahku dan Nikta berada. Salah, lebih tepatnya berjalan kearah samping kami. Di sebelahku. Lalu dia duduk, dan tentu saja, itu membuatku canggung. Memang, dia duduk sekitar limapuluh cm disampingku. Tapi itu membuatku canggung. Dia lalu menoleh kearahku yang masih merasa gugup.

“Kau, membawa minum lebih ya?, aku boleh minta?” Tanya Rico padaku. Aku mengangguk pelan. Sungguh, jantungku berdetak sangat keras kali ini. Aku menyodorkan botol air mineral yang bahkan belum kubuka segelnya. Karena tadi aku membawa dua botol.

Jantungku benar benar berdetak sangat keras kali ini, aku takut kalau sudah berurusan dengan jantung. Lama lama Nico bisa membuatku sakit jantung.

“Reyn, trimakasih!” Katanya sambil menyodorkan botol air mineral yang isinya tinggal tiga perempat dari semula.

“Sa, sama sama!” Aku berusaha bicara dengan nada setenang mungkin. Tapi nyatanya tidak bisa. Pasti dia mendengar jawabaku yang terbata tadi. A.... memalukan.

Rasanya ku ingin berada disini lebih lama karena bisa bereda didekat Nico. Tapi hatiku yang lain memintaku untuk segera pergi karena tak mau terlihat memalukan lagi didepan Nico.
Nico benar benar membuatku pusing.

***

Februari 2013

Hampir satu tahun, aku bergelut dengan perasaan ini. Sebentar lagi, aku akan lulus dan menyusul kakakku. Jujur, terkadang aku merasa sakit saat harus memikirkan kepergianku. Entah mengapa aku merasa sangat tak sanggup jika harus berada jauh dari Nico. Tapi disisi lain, aku ingin menjauhinya, perasaan ini tak boleh terlalu lama bersarang dihatiku. Aku tau aku egois, tapi... ini benar benar sangat sulit.

Aku membayangkan perpisahan kami, dan tanpa sadar, aku meneteskan air mata. Aku tak bisa meninggalkannya. Tapi kenyataannya aku harus meninggalkannya. Sudahlah Jireyn, kau tidak boleh memikirkan halseperti ini disekolah.

“Reyn, kau kenapa?” Tanya Nikta menghampiri tempat dudukku.

Aku segera menyembunyikan wajahku yang sedikit basah. “Tidak, aku tidak apa apa. Aku hanya bosan berada dikelas.”

“Ayolah, jangan berbohong!”

“Aku tidak berbohong!” Bantahku.

“Reyn,, Reyn.....” Aku mendengar seseorang berteriak memanggil namaku dari luar. Juga suara hentakan kaki beberapa orang yang sedang berlari. Tiba tiba dua orang yang biasanya selalu bersama Nico masuk kedalam kelas. Dengan sedikit berlari, mereka menuju kearahku.

“Jireyn, kau punya fans baru!” Kata Sena dengan senyum lebarnya.

Aku menatapnya lekat lekat. Fans? Apa yang anak ini maksud?. Lalu dari pintu kelas, aku melihat Nico berdiri dengan nafasnya yang masih memburu.

“Ah, itu dia....” Kata Sena sambil menunjuk Nico. Aku tercengang. Semuanya bercampur aduk. Jantungku berdetak sangat keras. Aku tak tau apa yang harus kulakukan.

“Nico, kau menyukai Reyn kan?” Tanya Sena dengan kerasnya. Tanpa memperdulikan anak anak yang berada dikelas ini. Aku malu. Lalu aku melirik Nico. Dia terlihat gugup. Dan tak ada sepataah katapun yang ia ucapkan. Tak ada kata iya, dan tak ada kata tidak. Juga tak ada gelengan dan tak ada anggukan darinya,

Karena terlalu gugup, aku memutuskan untuk keluar kelas. Jujur, aku malu dan takut melihat tatapan mata anak anak perempuan dikelas ini. Aku berjalan dengan cepat tanpa memperhatikan apapun. Termasuk Nico yang masih terpaku didepan pintu. Aku melewatinya begitu saja. Pikiranku benar benar buyar saat itu. Senang, kecewa, gugup, takut, dan bingung menyerangku secara bersamaan. Aku senang karena sepertinya dia masih menyukaiku. Kecewa karena dia tak memberikan jawaban saat dia ditanya apakah dia menyukaiku.  Gugup karena ini baru pertama kalinya ada yang mengatakan langsung padaku bahwa ada orang yang menyukaiku. Takut karena aku tak mau ini menjadi hal buruk. Dan bingung karena aku tak tau apa yang harus kulakukan.

Aku berhenti melangkah saat aku tiba di lapangan basket. Tepatnya ditempat penonton. Tempat yang selalu kududuki bersama Nikta. Aku mendudukkan diriku disana. Lalu melihat kelapangan basket yang sepi. Semuanya begitu memusingkan, dan entah kenapa aku merasa sangat bodoh karena telah berjalan kesini. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan Nico. Aku sadar, aku pergi tanpa mengucapkan satu katapun padanya. Mungkin dia berpikir bahwa itu adalah sebuah penolakan. Aku tau dia tidak tau perasaanku padanya. Apa aku harus kembali?. Tapi aku tak bisa, aku  tak mau bertemu wajah itu. Aku malu, ah... cinta bahkan bisa membuatku menjadi pemalu.


“Aku tak mau menampakkan diriku!” Aku membenamkan kepalaku sambil memeluk kedua kakiku. 

Aku.... bingung.

***

Akhirnya baru sempet nerusin ceritanya... udah ada stock ceritanya sebenarnya, tapi penyakit mager selalu kumat ehehe...

Jangan lupa follow akun Wattpad LutfiFiyanti kalau pengen baca cerita-cerita seru lainnya. 
Ini diaaa https://www.wattpad.com/user/LutfiFiyanti

Tinggalkan jejak ya teman-teman, biar makin semangat update 

Maaf kalau Typo bersebaran. Udah malam eheheee *alesan*






You can also search by : Cerita Remaja | Cerita Romantis | Cerpen Remaja | Cerpen Romantis | Fiksi Remaja 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesia Modern di Era Digital dengan Penerapan Teknologi Berbasis Internet

Kisah remaja

Music Organizer & Auction Machine