Kisah Remaja
Gone - Pretty Goodbye
[Part 2]
Enam hari sudah berlalu semenjak aku
masuk kelas sebelas. Memang menyebalkan. Aku tak pernah tau kalau semuanya akan
sedikit berbeda. Karena tragedi kecil itu, anak anak perempuan menjadi lebih
sinis padaku. Benar benar menyebalkan. Apalagi anak yang bernama Nico itu
selalu memperhatikanku. Agh, aku bisa gila kalau begini terus.
Setidaknya besok libur. Nanti malam aku
mau keluar mencari hiburan. Aku sudah lelah dengan masalah yang kuhadapi akhir
akhir ini. Aku juga bosan terus terusan berada di rumah yang sepi ini.
“tok tok tok...” Ada yang mengetuk
pintu kamarku. Aku tau, itu pasti Mbak Kara, hanya dia yang berani menggangguku
saat aku berada dikamar.
“Masuk!” Teriakku.
“Non, Tuan besar sudah sampai dirumah!”
Kata Mbak Kara dengan sopan. Begitu ya, jadi dia sudah tiba.
“Apa aku harus menemuinya?” Tanyaku
dengan wajah datar.
“...” Mbak Kara mengangguk.
Aku segera turun dengan pakaian
seadanya. Benar, dia memang sedang duduk di sofa ruang keluarga. Apa yang dia
lakukan sampai sampai punya waktu untuk singgah dirumah ini. Aku sudah berdiri
disampingnya masih dengan wajah datar. Seperti biasa dia menunjukkan senyumnya
saat sudah lama tak bertemu dengan ku. Tapi aku tak mau membalas senyumnya. Aku
lebih memilih untuk segera duduk disampingnya.
“Apa kau sedang tidak sibuk?” Tanyaku
pada laki laki paruh baya itu. Atau tepatnya ayahku.
“Hei, ayah menyempatkan waktu untuk
bertemu denganmu. Apa kau tidak senang?” Tanyanya masih dengan senyum yang
menurutku hambar itu.
“Tidak, aku senang!” Jawabku lalu meraih
remote TV.
“Bagaimana sekolahmu?” tanya ayah tiba
tiba.
“Seperti biasa!” Jawabku singkat.
“Kau memang anak ayah yang paling
cerdas!” Puji ayah. Ayolah, sudah berapa kali dia memujiku dengan kalimat itu.
“Em, ayah nanti malam akan mengadakan
acara makan malam dengan keluarga teman ayah di luar, apa kau mau ikut?”
tanyanya dengan nada mengajak.
“Tidak!” Jawabku singkat. Untuk apa aku
ikut makan malam yang membosankan itu. Itu hanya akan menambah beban untukku.
Dan aku tidak akan bisa mencari hiburan kalau aku ikut makan malam itu. Makan
malam yang pastinya akan sangat membosankan.
“Benar, kau tidak mau ikut. Teman ayah
itu punya anak laki laki yang tampan lho!” Goda ayah. Dia pikir aku siapa, aku
bukan cewek yang mudah tertarik pada laki laki.
“Aku tidak tertarik, lagipula aku mau
pergi dengan Nikta!” Kataku dengan wajah datar sambil memperhatikan televisi
yang kuhidupkan. Tidak, sebenarnya aku akan pergi sendirian. Mana mungkin Nikta
di izinkan keluar malam.
“Nikta? Sahabatmu itu!” Tanya ayah. Dari
mana dia tau, kurasa aku belum pernah menceritakannya.
“...” Aku mengangguk.
“Kau akan pergi kemana?” Kenapa sih
orang ini. Mau tau urusan orang saja.
“Aku tidak akan memberitahumu. Bisa bisa
kau menyuruh tempat itu tutup malam ini!” Kataku sambil mendengus. Aku tau ayah
punya kuasa sangat tinggi di sekitar sini. Banyak fasilitas umum yang bisa
dikuasai swasta telah menjadi miliknya sekarang.
“Hm, kurasa kau sudah mulai pintar
sekarang!” Gumam ayah. Hei, daridulu aku memang pintar.
“Sudahlah, lebih baik ayah mandi
sekarang, lagipula sekarang sudah jam lima!” Kataku sambil mendorong tubuh
ayahku.
“Iya iya...!”
***
Aku menatap diriku dicermin. Sempurna,
baju pendek berwarna hitam dengan jubah diatas siku, celana pendek, dan tas
putih yang indah. Penampilan yang sempurna. Persis seperti seorang gadis biasa.
Kurasa ayah masih berada dikamarnya. Aku bisa berangkat naik taksi malam ini.
Aku tau ayah akan berangkat dengan pak Jaya. Dia bilang, managernya juga
sedang kembali kerumahnya yang letaknya tak jauh dari sini.
Aku keluar dari rumah ini diam diam.
Sudah kuduga, gerbang belakang tidak dijaga malam ini. Mudah sekali untuk
keluar dari rumah ini. Taxi berlogo Bluebird sudah terparkir rapi diseberang
jalan. Aku melihat keluar jendela selama perjalanan. Indah, aku tak pernah
keluar malam hari sebelumnya. Lampu yang berwarna warni menghiasi setiap sudut
jalan kota ini. Banyak orang orang yang masih berjalan jalan menikmati malam
Minggu mereka. Aku melihat keluar kearah air terjun yang berada di taman itu.
Ternyata tempat penyewaan sepeda masih buka malam ini. Aku sangat ingin
bersepeda di malam hari. Tapi bukan ini tempat tujuanku. Aku ingin pergi ke
restaurant tradisional di kawasan Merpati.
Hebat, tempat yang keren. Aku mulai
masuk kedalam Restaurant yang bangunannya terbuat dari kayu ini. Aku sangat
menyukai aroma restaurant ini. Membuat hatiku tenang. Enam hari yang penuh
dengan kepenatan ini rasanya bisa dihilangkan saat aku masuk kesini. Aku membaca
daftar menu yang ditawarkan pelayan. Lalu aku memesan satu porsi ayam bakar,
satu porsi hati ayam goreng, dan jus mangga. Aku sendiri disini, jadi aku hanya
pesan makanan itu.
Beberapa menit kemudian, makanan itu
diantarkan ke mejaku. Aku senang, hati ayam yang kusukai sudah tiba. Aku
memakannya dengan lahap tanpa tau bahwa ada seseorang yang sedang
memperhatikanku di meja lain. Tiba tiba aku mendengar suara rombongan mobil
yang berhenti di depan restaurant ini. Aku melihat kearah pintu masuk. Seorang
laki laki dengan dua pengawalnya muncul dari balik pintu masuk. Dia, ayah...
Aku memelototinya, lalu dia menengok
kearahku. Dia menunjukkan senyumnya padaku. Aku menyembunyikan wajahku.
Apa apaan itu?. Agh, kenapa pria tua itu makan malam disini, tak adakah tempat lain. A...gh menyebalkan.
Apa apaan itu?. Agh, kenapa pria tua itu makan malam disini, tak adakah tempat lain. A...gh menyebalkan.
Kulihat ayah berjalan menuju sebuah meja
yang telah ditempati dua orang laki laki. Mungkin itu keluarga yang dimaksud
ayah. Tunggu sebentar, kurasa aku sangat merasa familiar dengan wajah salah
satu laki laki itu. Tunggu, itukan Nico. E, dia melihatku lagi. Lebih baik aku
menundukkan kepalaku. Agh, pantas aku sedikit merasa diawasi. Ternyata anak itu
ya!, kenapa dia jadi sering melihatku. Aku jadi merasa tidak enak kan?. Huh,
lebih baik aku pergi.
“Pelayan!” Panggilku. Pelayan yang
kupanggil itu segera menghampiri mejaku.
“Berapa semuanya?” Tanyaku. Pelayan itu
mengeluarkan buku catatannya.
“53.000” Jawab pelayan itu dengan ramah.
“Baiklah, ini!” Timpalku sambil
mengeluarkan uang 100.000 an.
“Ambil saja kembaliannya!” Kataku lalu berlalu meninggalkan pelayan itu.
“Ambil saja kembaliannya!” Kataku lalu berlalu meninggalkan pelayan itu.
Aku harus mencari tempat lain. Aku tak
mau bertemu dengan orang orang itu lagi. Jalanan di sekitar sini masih ramai.
Banyak orang yang masih berjalan kaki menikmati malam indah ini. Lalu aku
melihat air mancur yang berada di tengah taman. Kulihat disana masih banyak
orang orang yang bermain sepeda, sepatu roda dan sketboard. Aku melangkahkan
kakiku menuju air terjun itu, dan duduk di bangku yang berada ditepi.
Pemandangan yang sangat indah. Malam ini, mungkin akan menjadi malam yang
berkesan dalam hidupku.
“Reyn!” Teriak seseorang. Aku mencari
sumber teriakan itu. Disana, kurasa itu Raka, teman SMPku.
“...” Aku tersenyum kearahnya. Kulihat
dia berjalan kearahku sambil menuntun sepedanya.
“Boleh aku duduk?” Tanyanya.
“Tentu!” Jawabku sambil bergeser ke
samping.
“Sudah lama tidak bertemu, bagaimana
kabarmu?” tanya Raka sambil melihat kedepan.
“Baik, kalau kau bagaimana?” Tanyaku
balik pada Raka.
“Aku baik, kau tau ? semenjak kita
lulus, aku menjadi merasa kesepian.!” Katanya mulai membuka pembicaraan yang
sebenarnya ingin dia mulai sedari tadi. “A...gh aku tak pernah bertemu dengan
Nikta...!”
“...” Aku hanya tersenyum mendengar
kalimat yang baru saja ia utarakan.
“Maaf, tapi kurasa..., aku masih...”
Kalimatnya terputus. “Ah, kurasa aku masih ingin berkumpul dengan kalian!” Kata
Raka meneruskan kalimatnya sambil tertawa.
“Apa yang lucu?” tanyaku sedikit sinis
dengan tawanya itu.
“Ah, kau sama sekali tidak
berubah!” Katanya. “Kita ini satu nenek, dan kakek... tapi kenapa sikap
kita sangat berbeda?” Tanyanya sambil mendengus. Lagi pula siapa yang mau
menjadi sama denganmu. Igh, menjijikkan.
“Hei..!!!” Aku membentaknya. Dia benar
benar menyebalkan.
“He, he, he.....” Dia tertawa lagi.
Menyebalkan.
***
END FLASHBACK
Juni 2012
Ya, kira kira begitulah, sejak Nico satu
kelas denganku, dia selalu terlibat dalam hidupku. Entah memang benar benar
terlibat, atau hanya muncul. Dan itu membuatku mengakui keberadaannya. Dia yang
berbakat selalu membuatku kagum, walau terkadang aku tak mengakuinya. Dia
selalu menjadi yang terdepan. Dia selalu menjadi yang utama. Terkadang, aku
menjadi sangat kagum dengan anak itu. Tapi aku tak mau mengakuinya. Jujur, aku
malu. Aku bukan orang yang multi talent sepertinya. Dan ini membuatku malu.
Sejak itu, aku mulai memperhatikannya.
Tapi tak seperti dia yang selalu melihatku saat jam pelajaran. Aku masih
ingat saat teman sekelasku secara blak blakan bertanya padanya apakah dia
menyukaiku. Karena dia selalu melihatku. Memperhatikanku.
FLASH BACK
April 2012
Benar benar hari yang sangat panas. Ini
baru jam delapan, kenapa matahari begitu bersemangat membakar kulitku.
Agh, aku benar benar lelah. Padahal dari tadi aku hanya duduk di pinggir
lapangan sambil melihat para anak cowok dikelas kami bermain basket. Tubuh
mereka dipenuhi keringat. Apa mereka tidak merasa jijik. Ugh, pasti badan
mereka benar benar sangat lengket.
“Reyn, minum?” Tanya Nikta sambil
menyodorkan botol air mineral.
“Trimakasih!” Jawabku sambil menerima
botol air mineral itu.
“Reyn, lihat! Mereka benar benar keren!”
Kata Nikta sambil mengacungi anak anak yang berada di tengah lapangan itu.
“Apa kau tidak lihat?. Tubuh mereka
penuh dengan keringat! Keren apanya?” Bantahku sambil menunjukkan ekspresi
jijik.
“Maksudku permainan mereka yang keren!”
Kata nikta dengan wajah datar.
Keren? Benarkah?. Aku tidak tau. Sedari
tadi aku sama sekali tak memperhatikan mereka. Aku mencoba memperhatikan
permainan anak anak itu. Cukup lama hingga aku mengakuinya. Ya, benar memang
keren. Mereka sudah seperti pemain profesional. Apalagi Nico yang hampir
seluruh tembakannya masuk. Tak salah dia menjadi bintang sekolah. Kurasa, kita
akan memenangkan classmeeting basket putra untuk tahun ini. Benar juga, tak
terasa masa masaku dikelas sebelas hampir selesai. Dua bulan lagi aku kan masuk
kelas duabelas, lalu aku akan lulus dan menyusul kakakku di Inggris.
Aku malah jadi melamun memikirkan masa
masaku nanti. Hingga tak sadar bahwa seseorang kembali mengamatiku.
“Reyn, lihat! Sebentar sebentar, Nico
pasti menengok kearahmu!” Kata Nikta membuyarkan lamunanku.
Kalimatnya barusan membuatku mencoba melihat Nico yang sedang berada dilapangan. Mata kami beradu, dan 'Deg, deg,....' Jantungku berdetak keras. Seperti orang yang baru saja dikegeti. Sementara Nico, entah kenapa dia terpeleset dan jatuh.Anak anak lain merasa khawatir. Dan langsung menghampiri Nico lalu menolongnya berdiri.
Kalimatnya barusan membuatku mencoba melihat Nico yang sedang berada dilapangan. Mata kami beradu, dan 'Deg, deg,....' Jantungku berdetak keras. Seperti orang yang baru saja dikegeti. Sementara Nico, entah kenapa dia terpeleset dan jatuh.Anak anak lain merasa khawatir. Dan langsung menghampiri Nico lalu menolongnya berdiri.
“Kenapa Nico tiba tiba jatuh?. Apa ada
makhluk gaib yang membuatnya jatuh?” Tanya Nikta dengan bodohnya. Tapi dia
terlihat sedikit tak peduli, tak seperti anak anak perempuan lain yang lebaynya
setengah mati.
“Mana ada makhluk gaib didunia ini!” Kataku
dengan wajah heran pada sahabatku ini.
Aku hanya melihat dengan datar kerumunan
anak anak yang sedang menolong bintang sekolah itu sambil menyangga daguku.
Tempatku duduk berada di atas. Jadi aku bisa melihatnya dengan jelas.
Nico sudah dalam posisi berdirinya. Aku
benar benar tau bola matanya melihat kearahku. Aku melempar pandanganku kearah
lain. Aku tak bisa melihatnya. Aku takut tiba tiba jantungku berdegub kencang
lagi.
“Nico, kau melihatnya lagi!” Kata Sena
pada Nico. Jangan jangan anak berambut hitam kecokelatan itu sudah tau. “Apa
kau menyukainya?” Apa?. Berani beraninya Sena mengatakan hal itu. Dia pikir aku
tak mendengarnya?. Aku tau aku berada di atas. Tapi asal dia tau saja,
pendengaranku ini sangatlah tajam.
Aku mendengus. Aku lebih memilih untuk
pura pura tak mendengarnya dan berjalan pergi meninggalkan tempat ini. Kupikir
semuanya sudah gila. Terutama Sena. Dengan tiba tiba dia bertanya hal seperti
itu tanpa melihat keadaan.
END FLASHBACK
***
Juni 2012
Perasaan itu, mulai muncul dalam
hidupku. Aku tau aku terlalu munafik untuk mengakuinya. Sudah hampir dua bulan
aku merasakan perasaan yang mungkin bisa disebut dengan nama ‘cinta’.
Semakin hari, perasaan ini semakin dalam
merasuk kedalam hatiku. Hingga aku tau, akar akarnya sudah tak mungkin dicabut
lagi. Jika akar itu di cabut, maka hatiku akan hancur. Tapi jika dibiarkan
tumbuh lebih lama, perasaan ini benar benar akan sulit dikeluarkan.
Aku memandang keluar jendela. Rasanya
sangat sepi, entah kenapa aku merasa ingin segera masuk sekolah. Aku merasa tak
sanggup jika harus berpisah dan tak melihat wajahnya selama tiga minggu.
Agh, ayolah... apa yang kau pikirkan Jireyn.....
Agh, ayolah... apa yang kau pikirkan Jireyn.....
Aku tidak bisa, aku tidak bisa
membiarkan ini terjadi. Aku tidak bisa membiarkan perasaan ini menyeruak.
Agh,... berada dirumah semakin membuatku
gila.
“Ting, ting, ting...”Handphoneku
berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor yang tak dikenal, aku membaca pesan itu.
Aku tau kau sedang frustasi. Bagaimana kalau kita keluar sore ini.
Aku tunggu kau jam 03.30 di air mancur pusat kota.
Teman lama.
|
“Teman lama?” Tanyaku dalam hati. Siapa?
Apa mungkin dia Raka?. Ah sudahlah, lagipula aku jadi punya teman untuk diajak
jalan jalan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 03.30. Dan
aku sudah berada di bangku dekat air terjun pusat kota. Tapi orang itu belum
juga datang. Dia yang mengajakku kesini, seharusnya dia yang datang lebih dulu.
Lama lama bosan menunggu orang yang tak jelas itu disini.
“Reyn!” Sapa orang itu sambil
melambaikan tangannya. Keren!. Penampilannya sangat keren. Celana jeans
selutut, kaos putih dan kemeja berpola kotak kotak berwarna biru.
“...” Aku melambaikan tanganku dan
tersenyum padanya.
Dia berjalan mendekatiku. Anak yang
biasanya menyebalkan itu kini terlihat sangat tampan. “Dimana Nikta? Apa kau
tidak mengajaknya?” Tanya Raka padaku. Sepertinya anak ini masih menyukai
Nikta.
“Tidak, aku tau dia tidak akan
diizinkan!” Jawabku dengan datar.
“Hei, kata mbak Kara, kau sering melamun
akhir akhir ini. Apa kau sedang ada masalah?” Tanyanya.
“Tidak...” jawabku berbohong.
“Benarkah? Aku tidak percaya!”
“Memangnya apa urusanmu? Lagi pula aku
hanya butuh teman bermain. Itu saja!”
“Jangan seperti itu Reyn, akukan
kakakmu!” Apa? Kau bukan kakakku. Umur kita kan hanya terpaut enam bulan.
Bagaimana kau bisa menjadi kakakku?
“Kau bukan kakakku!”
“Aku tau, tapi bagaimanapun juga aku
adalah kakak sepupumu!” Yah, mungkin itu baru benar. Kakak sepupu.
“A...gh, sudahlah. Jangan dibahas!”
Bentakku lalu pergi meninggalkannya.
“Jangan begitu dong Reyn...!” Rayunya.
“Bagaimana kalau kita bersepeda hari ini?” Itu ide yang bagus. Daripada
berdebat denganmu, aku lebih memilih bersepeda denganmu.
“Baiklah!” Aku mengangguk.
Weheee.... masih gaje banget yaaa maaf deeh ini buatnya masih jaman SMP soalnya... masih polos *alah boong*
Yaa pokoknya nikmatin aja yaaa
Jangan lupa tinggalkan jejak...
You can also search by : Cerita Remaja | Cerita Romantis | Cerpen Remaja | Cerpen Romantis | Fiksi Remaja
Komentar